review buku rakyat tani miskin

TUGAS EKONOMI MIKRO
REVIEW BUKU “RAKYAT TANI MISKIN”


          Disusun Oleh :
                                      Riska Dian N                         11/311902/TP/09980
                                      Arum Kartika                        11/318810/TP/10059
                                      Sintari Rahayu                       11/318934/TP/10180
 ‘Afiifah Aris Putri                   11/318941/TP/10187

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012





BAB 1
Ketika krisis pangan marak, RTM kembali diangkat menjadi primadona untuk djual. RTM dipakai sebagai pembenar romantisme beras murah. Importasi beras dilakukan dengan legitimasi daya beli RTM yang terbatas. Ketika harga global melejit, RTM menjadi pembenar eksportasi supaya harga dalam negri terjaga dan RTM sejahtera.
Segala subsidi dan pembenaran itu nyaris bermuara pada RTM. Usulan raskin dan pengembangannya dari 10 menjadi 15 kg, juga berdalih RTM. Bahkan usulan pelipatan CBP (Cadangan Beras Pemerintah) menjadi 3 kali lipat, dalihnya juga pengamanan RTM dari potensi instabilitas pangan semasa pemilu 2009.
Dalam kenyataan lapangan, tidak pernah ada rendemen perberasan sebesar 65,4% untuk beras kualitas medium dengan beras patah 20%, sebagaimana diasumsikan dalam kalkulasi harga HPP di Inpres 8/2008. Maknanya menjadi, beras harus lebih murah dari harga gabah bahan bakunya.
Pada saat perekonomian dunia dihempaskan oleh krisis finansial sejak tahun lalu, akhir-akhir ini, mulai muncul lagi inisiatif baru untuk menyelesaikan Doha Round sebagia upaya memikirkan solusi bersama terhadap krisis. Semangat mendasar UUPA sebagai upaya besar untuk melakukan reformasi tata pemilikan lahan sekaligus reformasi akses perekonomian lahan sebagai alat ekonomi RTM, supaya RTM mampu minghindari kekejaman Nekolim dan antek-anteknya.
Perbaikan kesejahteraan adalah satu-satunya perhatian dan kepentingan umat manusia RTM. Bukan wacana ideologis yang ditebar dan bukan pula neolib maupun kerakyatan. Dalam pandangan RTM, maraknya gerakan komunisme melalui BTI (Barisan Tani Indonesia)-nya, gerakan pembangunan nasional yang kapitalistik, serta ketika banyak orang berteriak tentang kerakyatan, keperasi dan kedaulatan, ternyata sama saja tidak jelas implikasi pembangunan yang bisa dirasakan oleh RTM nasional kita.
Tiga komoditas agro andalan: karet, coklat (cacao), dan sawit yang mewakili typical export agro dalam bentuk baha mentah. Berikut beberapa kerugian eksport bahan mentah:
1.      Eksport bahan mentah tentu menghilangkan kesempatan memperoleh nilai tambah sektor pengolahan.
2.      Eksportasi bahan mentah hanya dimungkinkan ke Negara agro yang jumlahnya terbatas tetapi relatif kuat ekonominya. Sehingga daya tawar lebih besar dan dia mampu mendikte pasar.
3.      Sebagai konsekuensinya, pasar akan lebih banyak didikte dan tergantung importer. Sehingga, krisis yang terjadi di negara importir seperti tampak dalam krisis keuangan global, tentu akan sangat berdampak terhadap volume ekspor RI.
4.      RI berada dalam jajaran konsumen terdepan beberapa produk jadi yang diolah dari bahan mentah kita.
BAB 2
            Musbah dalam bentuk kemerosotan nilai rupiah ini adalah berkah bagi sektor pertanian, pangan dan pedesan. Musibah itu secara langsung menjadikan impor makin mahal karena mahalnya Dolar. Pada saat yang sama, musibah itu berakibat makin kuatnya daya saing sektor tersebut karena rupiah yang melemah.
            Sector pangan kita masih punya pula beban impor bawang putih 90%, gula 30% dalam bentuk Kristal dan gula merah. Lebih ironis lagi, 50% konsumsi garam di negri dengan pesisir terpanjang di dunia inipun ternyata masih di impor.



Gambar 1. Grafik Tingkat Importasi Tahun 2004-2008
            Krisis yang menjerumuskan bangsa ini bergabung pada negara-negara miskin kurang pangan (low income food deficit countries =LIFDC) karena dipicu pemanjaan yang berlebihan oleh industry manufaktur, non-agro dan berbasis impor. Salah satu alat utama yang dipilih dalam pemanjaan tersebut adalah proteksi berlebihan terhadap rupiah. Rupiah over valuation telah menjadi biang penyebab masuknya Indonesia dalam LIFDC. Akibatnya, pertanian dikorbankan dan segala produknya tidak mampu bersaing meski di kampung halaman sendiri. Modus yang memanjakan impor inipun terus berlanjut, ketika bangsa ini memasuki era reformasi.
            Dalam Import-based industry, bukan hanya bahan bakunya yang diimport, tetapi segalanya: termasuk teknologi, tenaga ahli, kapital, sampai kuli-kulinya. Semua harus import. Sejarahnya, sector industry sebagai pilihan Orde Baru ini hanya bisa layak ketika segala kemudahan dan pemanjaan dilimpahkan oleh Negara, mulai dari kemudahan fiscal, tataniga, moneter, dan bahkan sampai kepada kemudahan perundang-undangan.
            Tidah hanya kemudahan fiscal  yang menghidup-hidupkan industry tersebut. Pada saat yang sama, proteks rupiah pun dilakukan sekuat tenaga, bahkan melalui utang luar negri khusus untuk meredam merosotnya rupiah dan untuk memurah-murahkan harga dolar AS.
            Swasembada dan ketahanan pangan kita pun berbasis impor. 30% pemanis adalah produk rafinasi dengan gula mentah impor. Swasembada tekstil nyaris 100% kapas impor, kedelai 70% impor dan sebagainya.  Bahkan 50% garam juga harus impor oleh negri yang memiliki pesisir terpanjang.
            System tata niaga dan industry pertanian telah lama tidak dibangun sebagai kepentingan nilai tambah dan rakyat tani. Sector ini tealah lama diabaikan dalam system pembangunan nasional. Yang berakibat nilai tambahnya menjadi terbatas dan pada gilirannya sector ini menjadi sector anak tiri yang tidak menjanjikan masa depan.
            Bangsa ini sudah melupakan nasionalisme serta menggadaikan kedaulatan RI. Sebagai negra agraris dan maritime, ilustrasi yang disampaikan secara tegas menggambarkan betapa kedaulatan negara ini sudah dicabik-cabik oleh anak bangsanya.


BAB 3
            Sentralisai irigasi model UU No 7/2004, misalnya, telah mengakibatkan terbengkalainya pengelolaan sumber daya air. Padahal sudah terlanjur merampas hak-hak kelola rakyat tani. Rancanagn produksi yang sudah dipetakkan berdasarkan kragaman subsidi juga tidak mampu dilaksanakan rakyat tani dengan benar, karena pupuk subsidi juga tidak mudah diperoleh.
            Sangat finansial dalam melihat pasar, meski harus mengandalkan impor. Lihat saja kasus kedelai, beras, gandum, dan jagung. Kedelai, 18 tahun yang lalu kita sudah swadaya kini 65% atau 1/3 juta ton bahan tahu tempe harus impor.
            Implikasi Negara agraris berbasis impor:
1.      Sikap politik tersebut makin membenamkan stabilitas politik pangan kita sepenuhnya dalam ketergantungan terhadap impor.
2.      System ketahanan pangan dan makin merosotnya kedaulatan. Tidak ada lagi kedaulatan pangan yanag tersisa karena sudah habis kita gadaikan.
3.      Stabilitas yang sangat tergantung ini past tidak stabil dan pada saatnya mudah sekali memuculkan gejla social karena berkaitan dengan pangan, keadilan dan kemiskinan.
4.      Merosotnya kedaulatan pangan tentu memiliki konsekuensi pada kedaulatan pangan secara keseluruhan.
Swasembada instan yang terjadi dewasa ini bersamaan dengan stagnasinya pembangunan infrastruktur usaha-tani padi, ada baiknya kita lihat keswasembadaan ini lebih taktis, bukan politis. Ada beberapa pemikiran yang selama ini dilontarkan dalam beragam media:
1.      Secara tegas bangasa dan Negara ini harus berani melakuakan repositioning perberasan nasional untuk anti-import dan anti-eksport.
2.      Simpangan kuantitas yang tidak terlalu besar terhadap posisi swasembada baik ketika surplus maupun ketika deficit, ada baiknya simpanagn kekurangan atau kelebihan produksi ini dikelola untuk pengamanan system pangan dalam negeri antar waktu.
3.      Ketika trejadi deficit  dengan angka yang tidak banyak, akan lebih sempurna bila system perberasan siperhatiakan sebagai bagian dalam system pangan nasional yang diatasi dengan upaya diversifikasi.
4.      Ketika perberasan nasional mengalami surplus, sepert saat ini, surplus instant dengan kelebihan produksi yang sedikit di atas swasembada euphoria eksportasinya haru dihindari.
Ketika mengimpor dalihnya teramat sederhana. Bahwa produksi dan efisiensi domestic rendah. Sehingga jauh lebih murah untuk menstabilkan harga dengan mengimpor beras bukan memperbaiki kondisi sector pertanian. Karenanya, kebijagan itu pun tak pernah menjawab pertanyaan mengapa impor lebih murah. Bahkan tidak pernah pula dibahas implikasi impor terhadap produksi dalam negri.
RTM betul-betul telah menjad instrument dan legitimasi segala keputusan Pemerintah setelah melalu beragam dramatisasi. Dalam Elnino ini, nasib RTM yang jatuh masih akan ketimpa tangga lagi itupun belum menghadapi dramatisasi yang dilkukan oleh banyak pihak yang sudah sangat siap membesar-besarkan bencana Elnino dan siap meluncurkan aneka proposal untuk penanggulangan bencana alam klimatis ini.
Bangsa ini perlu membangun system kerja, system pengelolaan dan mekanisme yang handal dalam penanggulangan bencana sehingga RTM-RTM yang senantiasa menjadi korban erdepan segala macam bencana, tidak hanya ditempatkan sebagai pembenar segala macam tujuan politik-ekonomis-birokratis sekelompok Burung Bangkai dengan kepentingan jangka pendeknya.




BAB 4
Dengan turunyna cukai impor beras sebesar 18,2% dari Rp 550 menjadi Rp 450 /kg, impor lebih mudah, murah dan pasti bisa dilakukan tambah banyak. Pada gilirannya, stok akan lebih mudah diisi dengan beras impor daripada membeli beras produksi petani. Tentu selanjutnya, pengadaan dalam negri menjadi nomor 2 dan Bulog akan lebih mudah memainkan pasar.
]
 Gambar 2. Grafik Produksi dan Konsumsi Beras Tahun 2006

 Gambar 3. Grafik Pengadaan Beras
Publik harus memonitor apa yang terjadi di masyarakat.
1.      Harga tingkat petani harus dilindungi.
2.      Pengadaan dalam negri harus tetap dalam prioritas.
3.      Raskin harus berkualitas dan dengan distribusi yang lebih baik. Janganlah raskin menjadi beras penguk yang remuknya lebih dari 20%.
Implikasi HPP dalam hal waktu, besaran dan penuh kebohongan public.
1.      Target insentif produksi, kesejahteraan rakyat tani dan penaggulangan kemiskinan pedesaan, pasti tidak efektif.
2.      Rendahnya HPP beras akan membuat tidak efektifnya HPP GKP dan GKG.
3.      Rendahnya HPP beras sangat rentan terhadap keinginan untuk ekspor atau impor yang sering berorientasi rente jangka pendek.
Dalam keseharian, capital outflow telah terjadi dikawasan ini. Masyarakat desa hidup dalam menjual hasil bumi keluar. Pendapatan ini tersedot untuk berbagai macam barang konsumsi dan inpur produksi yang datang dari luar desa. Mereka semenatara ini bahkan belum menikmati kenaikan HPP bagi kesejahteraan, tiba-tiba harus terhempas oleh kenaikan harga BBM.
Melangitnya biaya produksi dan konsumsi terjadi bersamaan dengan merosotnya pendapatan usaha tani karena kenikan harga BBM. Rakyat tani pedesaan betul-betul menjadi yang paling menderita dalam balada BBM. Merekalah the most disandvantaged people sejatinya.
Rasanya sudah waktunya pertimbangan hak azasi dan keadilan ini dikedepankan dalam pelayanan public. Ketika sudah diputuskan subsidi bantuan, pelayanan dan sebagainya seperti raskin dengan arga tertentu, jumlah, waktu dan kualitas yang telah ditetapkan, maka itu menjadi hak pelayanan minimal  dalam hal ini, pengingkran atas segala yang ditetapkan adalah pengingkaran terhadap hak azasi gakin.
Bantuan langsung bisa dikatagorikan dalam dua hal.
1.      Bantuan langsung dala wujud beras seperti yang sudah dilaksanakan selama ini.
2.      Bantuan langsung dalam wujud uang.
Ada beberapa hal yang pantas diingatkan sebagai Refleksi Bulog yang memerluka perhatian utama untuk segera berbenah.
1.      Persoalan efisiensi operasional tentu sangat nyata kontribusinya terhadap keuntungan bulog.
2.      Berkenaan dengan pengadaan beras Non-HPP, yaitu pengdaan beras untuk kepentingan komersial dan berada diluar ketentuan harga pembelian konvensional menurut Inpres tentang perberasan.
Berkenaan  dengan penurunan cukai impor beras pada akhir tahun 2007, beberapa hal penting yang semestinya menjadi pertimbangan pemerintah dalam melakukan impor adalah
1.      harga tingkat petani harus dilindungi dan
2.      pengadaan dalam negeri harus tetap dalam prioritas
3.      raskin harus berkualitas dan dengan distribusi yang lebih baik.



Grafik tersebut menunjukkan bahwa harga (beli) beras Indonesia lebih tinggi daripada harga beras dunia. Bahkan selisih harga beras Indonesia dengan harga beras dunia lebih tinggi daripada selisih harga beras dunia dengan Vietnam. Kondisi supply dan demand Indonesia berbanding terbalik dengan Vietnam, setelah dikenakan tarif yang meningkat di Indonesia adalah penawaran, sedangkan di Vietnam yang meningkat justru permintaannnya.
Kenaikan akhir Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang sangat pas-pasan berimplikasi pada yang tidak efektifnya target insentif produksi dan HPP GKP dan GKG, serta kerentanan terhadap ekspor atau impor yang sering berorientasi rente jangka pendek.
Kenaikan HPP yang lebih besar daripada angka inflasi 2007/2008 sebetulnya merupakan angka penyesuaian dengan sedikit kelebihan sebagai antisipasi terhadap inflasi berikutnya yang sangat potensial. Ditambah, satu bulan setelah diumumkan HPP baru 22/ 4/ 08, beredar keputusan yang menaikkan harga BBM dengan rerata 28.7 %. BLT bagi kelompok miskin yang secara berbarengan diberikan justru menaikkan angka kemiskinan menjadi 17.5 % setahun kemudian. Masyarakat desa menjadi the most disadvantaged people terimbas melangitnya biaya produksi dan konsumsi yang terjadi bersamaan dengan merosotnya pendapatan usaha tani karena kenaikan harga BBM.



Desakan Pemkab Bantul terhadap Dolog DIY untuk membeli beras/ gabah petani yang kualitasnya baik dan dapat dipertanggungjawabkan memiliki makna (1) desakan keterlambatan pembelian pada tingkat petani semestinya tidak  perlu dilakukan, mengingat hal tersebut merupakan bagian dari operasi standar ADA-DN (pengadaan dalam negeri) (2) jaminan kualitas yang lebih dari kualitas raskin. Perubahan layanan raskin dengan kenaikan tebusan 60 % yang jauh lebih besar daripada kenaikan HPP  beras menurut Inpres 3/ 2007 dibanding Inpres 13/ 2005 yang hanya 12.7 % menunjukkan bahwa keluhan datang dari kualitas yang tidak patut untuk pangan manusia.


Program raskin yang menuai aib sebenarnya merupakan tanggung jawab Bulog. Alternatif lain selain commodity transfer, yaitu money transfer. Keduanya adalah hak kesejahteraan gakin dalam pemenuhan Hak Azasi Manusia (HAM).
Ketika yang satu tidak beres, digunakan alternatif yang satunya. Bulog perlu merefleksikan dirinya dalam hal (1) persoalan efisiensi operasional (2) pengadaan beras non HPP (3) urusannya dengan raskin, CPB, dan sebagainya.



BAB 5
            Tragis mengetahui Kedaulatan Rakyat Tani (KRT) untuk mengelola air telah dirampas resentralisasi menurut versi UU No 7/ 2004 tentang sumberdaya air yang problematik.  KRT dalam produksi juga  diganggu oleh hak atas input produksi yang diingkari oleh negara setelah sebelumnya dijanjikan oleh negara. Usulan perunahan menjadi subsidi harga yang merupakan indikasi bahwa awal dari bergesernya sifat silent majority, meski tidak dipungkiri bahwa esensi tuntutan tersebut adalah efektivitas subsidi, bukan sekadar berubah dari pupuk ke harga.
Apapun pasti gagal di pedesaan ketika tidak disertai dengan akomodasi partisipasi paripurna terhadap rakyat tani sampai Sains Rakyat Taninya.
Keadilan distributif pada tingkat pemanfaatan adalah urusan sumberdaya alam yang semakin langka. Tuntutannya adalah pembenahan struktural bagaimana beragam struktural tersebut dapat dikendalikan dan solusinya. Pertama, tidak jelasnya kendali terhadap keberadaan sumberdaya hutan sebagai pengendali lingkungan harus dihentikan. Kedua, revitalisasi terhadap hak dan kedaulatan rakyat tani atas sumberdaya kawasan. Ketiga, untuk derita struktural yang lain, yaitu menghindari politisasi yang tidak proporsional tehadap pembangunan pedesaan dan pertanian dengan sungguh-sungguh menempatkan rakyat tani sebagai central of concern.




BAB 6
Tanggal 24 september dinyatakan sebagai Hari Tani Nasional sebagaimana disebut dalam Konsideran I Keppres No. 168/ 1963. Hal tersebut merupakan wujud heroisme Bung Karno yang tidak pernah ada yang menyanhsikan. Tetapi kini hal tersebut terasa tanpa arti, karena dokumen dan janji legal itu tidak pernah terjadi pada tingkat lapangan. Nasib rakyat tani nyaris tidak pernah beranjak dibanding kemudahan hidup PNS, pemilik modal, orang kita, dan warga negara lainnya. Kedaulatan meraka pun semakin dikebiri dalam segala hak hakiki tentang harga produk, pupuk, sumberdaya air, lahan, pasar, dan pembenihan.
Harga panen padinya jatuh jauh di bawah yang seharusnya. Alasan kualitas panen jelekakibat pengaruh hujan dan banjir. Kualitas itupulalah yang dibesar-besarkan oleh otoritas pangan nasional sebagai alasan untuk tidak memasukkannya dalam pengadaan. Padahal realita yang sebenarnya adalah kualitas tersebut sama sekali bukan karena ulah RTM. Sepenuhnya adalah akibat bencana alam.
Impor beras, gula, dan garam sebagai kebutuhan pokok sangat memberatkan petani karena hal tersebut membuat harga jual beras, gula dan garam produksi petani merosot tajam. Kelangkaan yang terjadi selama ini hanya merupakan ulah importir-importir dan pedagang-pedagang besar yang menimbun barang sehingga menyebabkan kelangkaan. Begitu kelangkaan terjadi maka akan terjadi demo yang akhirnya akan berimbas pada dihapuskannya cukai barang-barang import tersebut. Pada akhirnya yang rugi adalah RTM.


BAB 7



RTM sebagai rumah tangga miskin kini sedang dimanjakan dengan berbagai janj-janji pemerintah seperti swasembada beras, swasembada gula dan lai sebagainya. Padahal hal tersebut hanya merupakan syahwat politik karena sebentar lagi akan ada pesta demokrasi di Indonesia. Iming-iming tersebuthanya untuk menanggulangi banyaknya golput yang semakin marak karena krisis kepemimpinan di Indonesia.
Tokoh-tokoh politik pun semakin banyak yang dimunculkan dengan janji-janjinya yang manis. Tetapi seperti yang telah lalu, begitu pesta pora itu selaesai janji-janji itu akan dilupakan begitu saja. Malah akan semakin memberatkan RTM sebagai rumah tangga paling dasar dalam pondasi negara ini. Sebab korupsi akan kembali terulang dan terus terulang untuk mengembalikan modal yang telah digunakan selama masa kampanye.



BAB 8
Dari kacamata kepentingan RTM, diperlukan waktu sejenak untuk dapat mengukur menjanjikan atau tidaknya Kabinet Indonesia Bersatu II bagi RTM dan pertanian. Pertama, nasib RTM dan pertanian sepenuhnya dapat disimak dari wajah agregatif KIB II yang neoliberalistik dan tidak cukup menggambarkan adanya janji pembangunan pro-RTM dan pertanian. Kedua, berbasis tupoksi bercocok-tanamnya, tidak akan pernah cukup kemampuan komandan Deptan untuk membongkar paradigma sektoral menjadi kesejahteraan dan pro-RTM ketika selama ini sudah semakin tenggelam dalam hiruk-pikuk kebijakan yang neolib. Ketiga, ketika negara ini harus sibuk membayar hutang tahun ini sejumlah Rp 137,6 Triliun dengan menggali hutang baru, dapat dipastikan bahwa konsentrasi pembangunan akan cenderung pro-growth, bukan pro-rakyat, dan apalagi pro-RTM. Keempat, paradigma makro ekonomi, karenanya, tidak akan pernah bergeser, akan tetap makin memanjakan industri non agro dan sertamerta menebarkan marjinalisasi bagi RTM dan sektor pertanian.
Kabinet profesional adalah sebuah keharusan. Menuju ke arah terbentuknya Kabinet Profesional semestinya menjadi amanat publik yang dikonsentrasikan dalam pesta demokrasi pada pilpres mendatang.

Komentar